Perempuan Harus Pintar

Apa beda perempuan dan laki-laki selain jenis kelamin dan bentuk fisik? Peran dan kemampuannya pun berbeda. Kodrat?

Isu kesetaraan gender rasanya tidak akan pernah habis dibahas, tarik-menarik kepentingan kaum feminin dan maskulin ini selalu menjadi topik yang seksi dan menggoda. Meskipun sekarang ini sudah ada pengakuan kesetaraan gender di banyak negara, apakah penerapannya benar-benar terjadi? Apakah peran perempuan dan laki-laki bisa benar-benar setara? Apakah perempuan benar-benar bisa memiliki peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat? Perempuan yang mana? Sepenting apa? Saya tidak yakin semua perempuan bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi penting dalam menciptakan sejarah.

Entah benar atau tidak, konon “history” adalah “his-story“. Laki-laki pembentuk sejarah, perempuan hanya sisipan, kalau diperlukan. Entah siapa yang memulai aturan “perempuan memiliki status sosial di bawah laki-laki” sehingga seringkali perempuan hanya dijadikan objek dalam setiap persoalan, kejadian, maupun kegiatan. Perempuan tidak pernah menjadi subyek dalam drama hidupnya sendiri, apalagi dunia; mencintai bukan dicintai, mengatakan bukan mendengar, memutuskan bukan diputuskan.

Saya tidak banyak tahu tentang asal-usul manusia atau kehidupan manusia ketika awal peradaban tercipta. Saya hanya tahu Adam adalah manusia pertama yang diturunkan ke Bumi bersama Siti Hawa (dan entah bagaimana caranya menghubungkan dengan teori Darwin), lalu beranak-pinak, beranak-pinak, beranak-pinak. Tetapi saya tidak pernah tahu kehidupan Adam-Hawa saat itu,

Bagaimana Adam memperlakukan Hawa, bagaimana mereka memperlakukan anak-anak perempuannya, memperlakukan cucu-cucu perempuannya. Lalu bagaimana keturunan-keturunan berikutnya memperlakukan kaum perempuan. Saya tidak tahu.

Mungkin memang Tuhan memberkati laki-laki dan perempuan dengan kemampuan yang berbeda dan memiliki keunikan masing-masing sehingga dapat menjalankan peran yang berbeda pula, saling melengkapi. Saya percaya itu. Seharusnya selesai sampai di situ.

Lantas mengapa muncul feminis? Kelompok yang memperjuangkan hak-hak perempuan untuk diperlakukan adil (saya gunakan kata adil di sini karena menurut saya tetap tidak akan sama antara perempuan dan laki-laki. Ada banyak hal yang memang harus diberikan sesuai porsinya karena tatanan kehidupan akan berantakan jika tidak demikian). Apakah dengan menjalani dan menerima kodrat, perempuan mendapatkan ketidakadilan? Ataukah ini hanya ekspresi dari manusia yang tidak bersyukur atas porsi yang didapatkannya?

Perjuangan terhadap kesetaraan gender berarti ada ketidakpuasan dari kelompok tertentu atas perlakuan kelompok lain terhadap perempuan. Meskipun akhirnya banyak feminis yang tersesat dalam perjuangannya sendiri, hilang arah dan tujuan. Saya rasa akhirnya banyak feminis yang sadar bahwa dirinya melewati batas maksimal perjuangannya. Ibaratnya, mereka masuk ke sebuah rumah, ngacak-ngacak, lalu sadar bahwa itu bukan rumah mereka dan mereka tidak bisa tinggal di sana.

Wajar, menurut saya. Sebagai manusia, secara naluriah memang tidak pernah puas, selalu ingin mendapatkan lebih. Tidak terikat pada laki-laki atau perempuan. Masalah terjadi ketika keinginan untuk pemuasan kebutuhan tersebut tidak dapat diraih karena dinilai tidak biasa, sehingga menjadi pergunjingan masyarakat dan dianggap melawan kodrat.

Perempuan, yang entah sejak kapan, hanya berkutat dengan urusan dapur dan rumah tangga, awalnya dianggap aneh (bahkan ditentang) ketika ingin mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak, memiliki kemampuan/keahlian yang lebih hebat, melakukan peran yang lebih besar daripada itu.

Saya selalu heran dengan ungkapan “buat apa perempuan sekolah tinggi toh akhirnya ke dapur juga” yang sampai sekarang masih suka saya dengar dari beberapa orang. Sempit sekali. Memangnya seorang ibu rumah tangga tidak boleh sekolah tinggi? Tidak boleh pintar? Saya ingin bersekolah lebih tinggi dan saya bercita-cita menjadi ibu rumah tangga, ada masalah dengan itu?

Menurut saya, menjadi ibu rumah tangga harus pintar. Kenapa? Karena dia yang akan punya waktu lebih banyak untuk mengajari anak-anaknya, menjawab pertanyaan-pertanyaannya, mendidik dan mendampingi hingga tumbuh dewasa. Apa jadinya anak-anak jika seorang ibu tidak tahu apa-apa, tidak bisa ditanya, tidak bisa mengikuti perkembangan jaman mereka? Anak-anak akan mencari jawaban di luar yang mungkin saja menemukan jawaban yang salah. Pintar dan memiliki wawasan yang luas kan tidak harus sekolah?

Memang tidak selalu. Tetapi, kata Ayah saya, sekolah itu miniatur kehidupan, kita belajar bagaimana caranya menghadapi berbagai macam hal. Itu bisa jadi bekal, sekalipun kelak menjadi ibu rumah tangga. Perempuan pintar bisa membantu meringankan beban pikiran suami dengan menjadi rekan diskusi, bukan hanya bisa menyiapkan makanan atau pakaian.

Ketidakadilan terhadap perempuan terkadang masih saya rasakan/alami. Ketimpangan dalam penerimaan informasi dan keterlibatan dalam diskusi masih sering terjadi. Saya ambil satu contoh kasus.

Pada sebuah forum, dimana terdapat kaum laki-laki dan perempuan, terjadi sebuah diskusi penting tentang suatu persoalan. Diskusi terjadi dalam waktu lama sehingga membutuhkan asupan makanan dan minuman bagi yang hadir. Lalu diperintahkanlah kepada beberapa orang perempuan untuk ke dapur dan menyiapkan makanan.

Jujur, saya tidak suka kondisi tersebut. Bukannya saya tidak suka harus menyiapkan makanan, tetapi saya tidak suka kalau harus meninggalkan diskusi dan tidak bisa memberikan pendapat. Seringkali pada kondisi tersebut, perempuan dianggap tidak akan bisa memberikan pendapat atau pendapatnya dinilai tidak penting. Sungguh tidak adil karena mungkin saja dia memiliki pendapat lebih baik dari kaum laki-laki, atau minimal biarkan dia mendengarkan sehingga kemampuan berpikir dan bernalarnya tetap terasah.

Meskipun demikian, bukan berarti lantas perempuan bisa menolak tugasnya sebagai perempuan. Bagaimanapun juga, menurut saya, tetap saja memang perempuan yang harus mengurusi hal-hal yang sifatnya pelayanan termasuk menyiapkan makanan dan minuman. Tidak, saya tidak merendahkan perempuan. Itu tugas yang mulia. Dan tugas itu lebih tepat dilakukan oleh perempuan. Toh perempuan tidak akan bisa melakukan beberapa tugas lain seperti membetulkan atap yang bocor atau tugas lain. Tidak mutlak, ada perempuan yang bisa mengerjakan tugas laki-laki dan sebaliknya.

Selalu ada solusi untuk setiap persoalan, begitu pun urusan adil-tidak adil perempuan dan laki-laki ini. Untuk contoh kasus di atas, saya pernah menerapkan beberapa solusi (dengan catatan sama-sama paham dan mengerti kebutuhan dan peran masing-masing kaum):

  • Menyiapkan makanan dan minuman sebelum proses diskusi dimulai sehingga orang-orang yang hadir bisa langsung menikmati ketika proses diskusi berlangsung.
  • Memilih makanan dan minuman yang mudah disajikan, sehingga kalaupun harus meninggalkan forum, tidak memakan waktu terlalu lama.
  • Membuat kesepakatan dengan forum untuk memberi jeda proses diskusi dan menyiapkan makanan bersama-sama.

Solutif dan tidak ada yang dirugikan atau merasa diperlakukan tidak adil. Ah, begitulah. Sangat menarik membahas tentang perempuan dan laki-laki, berbagi peran, berbagi tanggung jawab, tetapi saling memahami peran satu sama lain. Ya, tentu ini hanya berdasarkan pemahaman saya yang masih terlalu dangkal, perlu banyak belajar dan perlu lebih banyak mengenal diri sendiri sebagai perempuan. Supaya lebih pintar. 🙂

2 Comments

  1. pernah saya mempunyai teman yg awalnya polos namun ketika dijejali soal genderisasi sehingga saya tdlk lagi mengenalnya dan ia jauh berubah sehingga ada beberapa prinsip hidup yg dilepasnya. sebenarnya ini hanyalah isu dari pihak barat yg katanya lebih humanis, namun patut diingat setiap insan manusia ada kodratnya masing2, namun ttp saja wanita pun boleh kok mencari ilmu, pepatah saja bilang: raihlah ilmu sampai ke negeri china…

Leave a comment